Oleh : Hengky Novimba *)
Melihat judulnya terlihat menyeramkan bak pertarungan UFC antara Khabib Nurmagedov VS Mc Gregor yang menimbulkan efek ada yang menang dan ada yang kalah. Namun versus judul diatas tidak serta merta menggambarkan pertarungan adu fisik antara pegiat tradisi dengan kami pegiat konservasi.Tulisan ini dibuat lebih pada bagaimana cara agar tradisi bisa tetap berjalan dengan kaidah konservasi.
Awal 2019 ketika ditugaskan di Resort Parang wilayah Seksi 1 Kemujan Balai TNKJ, mendengar cerita dari Pak Suyatno (petugas Tenaga Kontrak BTNKJ) tentang sebuah tradisi warga Parang ketika Lebaran Idul Fitri kebetulan saat itu kurang dari 10 hari Lebaran,berikut sedikit kutipan obrolan kami:
P.Yatno : “Sekedap malih lebaran niki pak”
Me : “La disini tradisi ne nopo pak?Opor ayam ya?”
P.Yatno : “walah mboten pak, mriki masak Kima nopo Penyu”
Sontak kaget mendengar cerita dari beliau.,dimana hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi menurut Undang-undang no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan PermenLHK nomor p.92/MENLHK/SETJEN/KUM/8/2018 tentang Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Upaya sudah dilakukan teman-teman petugas Resort Parang yang terdahulu,mulai dari Penyuluhan, Patroli rutin, sampai tindakan represif yaitu penangkapan terhadap pelaku pengambilan satwa tersebut sampai dalam penjara. Namun hal tersebut nampaknya tidak membuat jera oleh para pelaku lainya dengan dalih hanya untuk kepentingan konsumsi sendiri serta sudah menjadi tradisi saat lebaran tiba. Dalih itu tentu tidak bisa dibenarkan dalam kaidah konservasi,memang tidak berdampak langsung bagi mereka tetapi efek kegiatan illegal tersebut akan dirasakan oleh anak cucu yang hanya mendengar cerita serta melihat dari gambar seperti apa penyu atau kima tersebut. Dalam hal ekosistem pun akan berdampak dalam kelangsunganya.
Menjadi sebuah tantangan bagi kami menemukan solusi yang tepat dalam permasalahan tersebut. Disamping melanjutkan kegiatan yang sudah dilakukan secara rutin perlu adanya hal yang solutip sehingga masalah itu bisa terurai dan terselesaikan tanpa ada hati dan raga yang terluka seperti efek pertarungan UFC. Dari data informasi yang diterima baik dari masyarakat maupun informan internal kami, sebagian besar aktifitas illegal yang dilakukan disaat petugas di Pondok kerja resort Parang tidak berada ditempat.
Itulah yang menjadi benang merah selama ini, bisa dimaklumi dikarenakan petugas resort parang bukan warga asli Parang yang tidak bisa setiap saat berada disitu, ada keluarga yang menantinya setelah sekian lama di tinggal apa lagi di saat momen lebaran. Memang sudah ada upaya dalam mencegah kegiatan tersebut yaitu membentuk MMP (masyarakat mitra polhut) dimana anggotanya merupakan warga asli desa Parang namun kekuatan mereka hanya sebatas di saat berbarengan dengan kegiatan patroli bersama petugas Resort Parang.
Menyikapi itu kami berinisiatif membuat jadwal kerja yang merata disetiap personil sehingga di setiap bulan selalu ada petugas yang berada di Pondok kerja secara bergantian. Lantas bagaimana dengan ketahanan kami selama berada di sana yang terkenal biaya hidup lebih mahal dari daratan pulau Jawa?ada sedikit dana “taktis” resort yang bisa membantu selama tinggal disana. Selain upaya itu kami juga ada cara menangani masalah itu yaitu adanya Kelompok SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) yang di bungkus dalam kegiatan Kemitraan Konservasi.
Dalam kegiatan tersebut Balai Taman Nasional Karimunjawa memberikan bantuan serta aksesibilitas warga parang bisa mengolah kawasan berdasarkan zonasi yang ditetapkan. Di Parang sendiri sudah diberikan Depo Air Minum serta pemberian bibit rumput laut yang sudah mulai di tanam oleh kelompok SPKP. Selain bisa menjadi ekonomi alternatif warga Parang, kegiatan tersebut juga bisa membantu petugas dalam hal menjaga kawasan konservasi Balai Taman Nasional Karimunjawa di saat menjumpai aktifitas illegal maupun saat petugas tidak berada di tempat dengan cara mengingatkan atau memberikan penyuluhan bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah. Memang tak semudah membalikan telapak tangan ketika yang sudah menjadi tradisi tersebut di larang tanpa ada solusi, namun segala upaya agar tradisi bisa berjalan beriiringan dengan kaidah konservasi terus dilakukan guna mewujudkan “Laut Lestari Masyarakat Berseri”.
................…………………..to be continue………………………………………………
*) Polhut Balai Taman Nasional Karimun Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar