Selasa, 16 Maret 2021

Cerita dari Taman Nasional Kayan Mentarang

Oleh : Lepi Asmala Dewi *)

Perjalanan dinas awal tahun membawa saya ke sebuah tempat bernama Tau Lumbis. Lokasinya terletak di Kabupaten Nunukan, ujung negeri paling utara pulau Kalimantan. Berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia. Tau Lumbis merupakan sebuah lokasi yang merujuk pada sepuluh desa yang berkumpul dalam satu perkampungan. Sepuluh desa tersebut yakni Desa Tau Lumbis, Desa Lipaga, Desa Tetagas, Desa Kalisun, Desa Tuntulibing, Desa Duyan, Desa Bululaun Hulu, Desa Mamasin, Desa Sibalu dan Desa Kabungalor.
Masyarakat di Lokasi Tau Lumbis sebagian besar didominasi oleh suku Dayak Tahol. Hanya sebagian kecil saja masyarakat pendatang seperti dari Sulawesi dan Pulau Jawa serta masyarakat dari kabupaten lain di Kalimantan Utara. Masyarakat yang datang dari Sulawesi dan Jawa tinggal di Tau Lumbis karena bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Menurut keterangan masyarakat, dalam bahasa Dayak Tahol Tau berarti akar dan Lumbis berarti datar/halus. Tidak ada informasi yang pasti sejak kapan dan mengapa lokasi tersebut bernama Tau Lumbis. Akan tetapi jika diamati, Tau Lumbis memang termasuk wilayah datar yang cukup luas dibandingkan dengan wilayah lain disekitarnya. Lokasi yang datar merupakan wilayah ideal yang banyak dimanfaatkan masyarakat Dayak sebagai tempat bermukim. Belum lagi karena Lokasi Tau Lumbis berada di pinggir sungai yang merupakan tempat yang disukai oleh masyarakat Dayak. Mereka hobi memancing dan berburu. Sungai menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Itulah sebabnya banyak desa-desa berkumpul menjadi satu membentuk sebuah perkampungan.

Lokasi Tau Lumbis merupakan beranda perbatasan yang dekat dengan Sabah Malaysia. Menurut cerita masyarakat, perjalanan ke kampung Malaysia bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih empat jam. Jarak tersebut bagi mereka cukup dekat sehingga lalu lintas ke negara tetangga cukup sering dilakukan. Beberapa kampung Malaysia yang sering mereka kunjungi yakni Kabu dan Sliliran. Masyarakat kampung tersebut merupakan kerabat mereka. Bahasa dan silsilah mereka pun sama. Dalam sejarahnya, nenek moyang masyarakat Dayak Tahol di Tau Lumbis sering melakukan perjalanan untuk mencari lokasi yang baik untuk bercocok tanam dan bermukim. Perjalanan tersebut membawa mereka sampai ke Malaysia. Di zaman sekarang, kekerabatan mereka bukan hanya karena sejarah nenek moyang. Mereka membuat sejarah sendiri dengan menikahkan anak dan kemenakan mereka dengan kerabat di Malaysia. Bagi saya ini sangat unik, karena mereka ternyata sering melakukan “kondangan antar negara”. Keren yah?

Perjalanan ke Tau Lumbis

Keunikan Tau Lumbis sebenarnya sudah dimulai saat saya dan dua teman berangkat menuju lokasi tanggal 16 Maret 2020 yang lalu. Tau Lumbis terletak di Kecamatan Lumbis Hulu, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Untuk menuju Tau Lumbis, bisa melalui Ibukota Kabupaten Nunukan maupun kabupaten tetangga yakni Kabupaten Malinau. Dari pusat pemerintahan Kabupaten Malinau, perjalanan dimulai menuju desa Mansalong yang terletak di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan. Walaupun berbeda kabupaten, Desa Mansalong bisa ditempuh selama 45 menit dari pusat pemerintahan Malinau. Moda transportasi yang digunakan yakni kendaraan roda empat. Dari desa Mansalong, perjalanan dilanjutkan dengan menyewa longboat masyarakat. Harga sewa terbilang cukup mahal. Longboat dengan kapasitas 15-25 orang bisa disewa dengan harga 8-10 Juta pulang pergi Mansalong Tau Lumbis. Untuk tiket longboat murah, pemerintah kecamatan menyiapkan tiket subsidi akan tetapi waktunya terkadang tidak pasti dan harus menunggu cukup lama.

Salah satu Pelabuhan Longboat yang ada di Mansalong

Jarak Mansalong ke Tau Lumbis bila diukur menggunakan GPS tercatat sekitar 121 Km. Waktu tempuh sangat dipengaruhi oleh banyaknya penumpang, jumlah dan berat barang bawaan, kondisi air, kondisi mesin dan kecakapan motoris serta juru batu longboat. Waktu tempuh rata-rata yakni 5-8 jam akan tetapi juga bisa lebih dari 10 jam. Jumlah penumpang yang banyak, bawaan yang berat, kondisi air surut dan mesin yang kurang mendukung bisa membuat keterlambatan sampai dari dan ke Tau Lumbis.

Sebelum berangkat menuju Tau Lumbis, motoris kami mengisi bahan bakar terlebih dahulu di Mansalong. Jumlah bahan bakar yang dibeli terbilang cukup banyak yakni lebih dari 200 liter. Menurut motoris, jumlah bensin yang dihabiskan untuk menuju Tau Lumbis yakni sekitar 280-300 liter untuk longboat yang dilengkapi tiga mesin. Wajar saja bila harga tiket dan sewa longboat menjadi mahal.

Setelah membeli bensin, motoris mengatur tempat duduk kami. Pengaturan tempat duduk dilakukan agar longboat menjadi seimbang. Dan perjalanan pun dimulai. Suara mesin longboat dan bau bensin diawal perjalanan tidak biasa bagi saya. Perjalanan dinas sebelumnya tidak menggunakan transportasi sungai, sehingga saya mencoba untuk cepat menyesuaikan diri. Belum lagi karena longboat tidak memiliki atap sehingga cahaya panas matahari langsung ke kepala. Untuk menghindari panas matahari langsung, kami melengkapi diri dengan topi, masker, baju lengan panjang/jaket, kacamata dan mengoleskan handbody lotion. Dan yang paling utama kami menggunakan pelampung sebagai alat keselamatan diri. “Dan proses menghitamkan kulitpun dimulai” begitu canda saya kepada teman-teman.

Di longboat yang kami sewa tidak banyak penumpang dan tidak banyak barang yang dibawa. Motoris kami mengatakan kondisi ini sangat menguntungkan karena air sungai memang sedang surut. Kami yang berangkat pukul 10 pagi diprediksi sampai di Tau Lumbis pukul 3 atau 4 sore.

Selain kami bertiga, motoris dan juru batu. Perjalanan kami juga ditemani tiga orang penumpang yang merupakan kerabat sang motoris. Tiga orang tersebut adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berasal dari Tau Lumbis. Mereka bersekolah di Mansalong karena di Tau Lumbis belum ada SMA, hanya ada PAUD, SD dan SMP. Mereka mengatakan bahwa saat ini sekolah sedang libur sehingga mereka memilih pulang kampung.

Di awal perjalanan, Saya tertarik dan memperhatikan barang-barang yang ada di longboat. Tetapi bukan barang milik kami. Kebanyakan barang yang dibawa adalah sembako seperti telur, mie instan, minyak goreng dan yang paling menarik adalah empat ekor ayam merah petelur yang masih hidup. Mereka diikatkan satu sama lain sehingga sulit bergerak. Kami duduk bersama ayam-ayam tersebut. Angin kencang yang terasa di atas longboat terkadang juga membawa aroma kurang sedap dari kotoran ayam yang ada di depan kami.

Menurut informasi awal yang saya terima, harga sembako di Tau Lumbis memang terbilang mahal. Bahkan harga satu liter bensin bisa mencapai 20 ribu. Walaupun mahal tetapi mereka tetap membutuhkan sembako terutama minyak goreng, gula, kopi, bawang dan garam yang menjadi bahan pokok sehari-hari. Belum lagi kebutuhan bensin bagi masyarakat Tau Lumbis cukup penting karena kegiatan mereka sehari-hari banyak di sungai dan menggunakan ketinting/longboat. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut mereka membelinya dari Mansalong.

Puas memperhatikan barang-barang di longboat, saya mulai teralihkan dengan pemandangan pohon-pohon, rumah dan bekas ladang dipinggir sungai. Saya juga tertarik dan mengambil gambar tempat-tempat pemakaman yang berada di bukit-bukit. Tempat pemakaman tersebut jelas terlihat ditandai dengan bangunan-bangunan kecil menyerupai rumah dengan atap yang rendah. Dalam pengamatan saya rasanya luas bangunan tersebut tidak akan lebih dari 2 x 2 meter. Atapnya dibuat menggunakan gentang atau seng. Jarak dari bibir sungai cukup tinggi sehingga saya hanya membayangkan sulitnya proses penguburan yang mereka lakukan.

Selain kuburan, di sepanjang perjalanan kami melewati beberapa desa. Nama desa kami ketahui dari ucapan selamat datang yang ada di pinggir sungai. Mirip gapura mini untuk menunjukan suatu identitas. Beberapa desa yang kami lewati yakni Desa Patal, Ubol, Sukamaju, Binter, Sumentobol, Labang, dan Panas. Akan tetapi jarak antar desa yang kami lewati cukup jauh satu sama lain. Semakin jauh meninggalkan Mansalong jumlah rumah dalam satu desa juga semakin sedikit. Juru batu kami mengatakan bahwa terkadang satu desa hanya memiliki 10 KK karena sebagian pindah ke Mansalong. Banyak juga kami temui rumah-rumah penduduk yang terlihat tidak terawat dan ditinggalkan pemiliknya.

Dua jam perjalanan kami terasa cukup mengasikan. Walaupun air sungai surut tapi longboat kami masih bisa melaju cukup cepat. Sekitar pukul satu kami tiba di Desa Labang. Sebenarnya saya tidak melihat rumah-rumah penduduk ataupun gapura mini seperti sebelumnya, akan tetapi hanya melihat satu pos TNI Perbatasan yang bertuliskan Pos Labang. Terdapat dua sungai di daerah ini. Sungai kiri menuju Tau Lumbis dan sungai kanan menuju Malaysia. Ada yang sangat menarik di dua sungai tersebut. Sungai kiri terlihat lebih jernih sedangkan sungai kanan berwarna coklat dan keruh. Saya menduga terjadi aktifitas cukup padat di hulu sungai kanan yang menuju Malaysia.

Tantangan perjalanan mulai dirasakan sesaat setelah memasuki Pos Labang. Sungai menjadi lebih sempit dan berbatu. Tidak hanya batu ukuran kecil, akan tetapi batu-batu besar bahkan membentuk dinding-dinding batu di pinggir sungai. Jiram-jiram pun mulai bisa terlihat dan membuat goncangan-goncangan saat longboat mencoba melaluinya. Longboat yang berusaha menghantam arus melalui jiram-jiram tersebut membuat cipratan-cipratan air masuk ke dalam kapal. Tidak sedikit juga bagian tubuh seperti tangan dan kaki kami menjadi basah. Goncangan-goncangan yang kami rasakan membuat kami sesekali berteriak dan memegang erat bagian longboat. Dalam kondisi ini saya melihat peran juru batu dan motoris sangat penting. Koordinasi yang baik antara keduanya sangat dibutuhkan. Juru batu yang berada di depan sedangkan motoris berada dibelakang. Mereka terpisah sejauh kurang lebih 6 meter tergantung panjang longboat. Melalui Gerakan tangan atau teriakan, juru batu akan menunjuk arah yang aman untuk dilalui, sedangkan motoris mengarahkan longboat agar bergerak sesuai arah yang dimaksud. Juru batu dilengkapi dengan sebuah dayung dan batang kayu yang lurus. Ukuran panjang kayu kurang lebih empat meter, sedangkan diameternya sekitar 10-15 cm. Kedua alat tersebut digunakan saat menghadapi situasi sulit seperti jiram dan arus sungai yang berbatu.

Walaupun sungai menjadi lebih sempit dan berbatu, pemandangannya menjadi indah. Sesekali kami melihat air terjun yang mengalir cukup deras dari dinding-dinding batu. Selain itu hutan yang kami lihat juga semakin rapat dan pohon-pohon menjulang tinggi di tebing-tebing dan di gunung-gunung. Banyak juga kami temukan burung-burung air seperti burung kuntul yang sedang bertengger di atas batu.

Perjalanan kami terus berlanjut. Lelah mulai terasa dan perut mulai bernyanyi. Jam tangan menunjukkan pukul dua siang. Sudah empat jam kami duduk di atas longboat. Tiba-tiba motoris memperlambat laju longboat. Juru batu mulai mendayung perlahan mengarah ke tepi sungai sebelah kanan. Saya melihat tepian sungai dengan bebatuan kecil dan pasir. Tepi sungai itu cukup luas, nyaman untuk tempat beristirahat karena terlindung dahan pohon. Walaupun matahari terasa semakin terik, berada di tepian sungai itu terasa sangat nyaman dan sejuk. Kami duduk diatas bebatuan di pinggir sungai dan membuka bekal yang dibawa. Walaupun hanya telur dan sambal tempe, makan kami siang itu terasa sangat nikmat. Sembari makan, kami melihat juru batu menceburkan diri ke dalam sungai. Byurrr Byurrr Byurr…. Terdengar suara itu berulang-ulang. Saya merasa ingin sekali ikut nyemplung dan berenang. Akan tetapi apalah daya, arus sungainya cukup deras. Dan lagi memang saya tidak bisa berenang. Huftttt…
Lokasi Istirahat untuk Makan Siang

Makan siang kami sudahi setelah kurang lebih 15 menit. Mesin longboat kembali dihidupkan dan kami duduk ke posisi awal sesuai arahan motoris. Seperti biasanya, saat perut sudah kenyang maka longgarlah otot mata. Kantuk pun mulai menyerang. Sayup-sayup mata saya mulai mencoba terpejam. Naluri ngantuk secara alami membuat saya mencari posisi nyaman ditengah kondisi longboat yang sempit dan kurang ruang. Saya merebahkan sebagian kepala dan punggung ke tumpukan tas. Rasanya cukup empuk walaupun kaki harus dilipat. Hal ini juga dilakukan teman-teman yang lain. Bahkan satu teman merebahkan badannya di lantai longboat berdampingan dengan ayam yang saya ceritakan sebelumnya. Tapi kondisi tersebut tidak mengurangi kenikmatan tidur siang kami hari itu. Nampak semua menikmati walaupun sesekali harus terbangun karena terkena cipratan air.

Hampir pukul tiga sore saat juru batu mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di Tau Lumbis. Saya bisa melihat di depan terdapat perkampungan yang cukup ramai. Dan yang paling jelas terlihat adalah sebuah tower jaringan yang menjulang tinggi. Dan kami pun berlabuh di lokasi tujuan pukul 15.15 WITA. Kami disambut oleh rekan kerja dari masyarakat adat yang sudah menantikan kedatangan kami.
Teman yang tidur di Long boat bersama ayam

Gapura Selamat Datang di Tau Lumbis

Kehidupan Masyarakat Tau Lumbis

Selama di Tau Lumbis, kami bermalam disebuah istana beratap dedaunan berdinding bambu. Istana itu berdiri di tepi sungai. Ukurannya tidak terlalu besar. Hanya sekitar 8 x 5 meter. Hanya ada ruang tamu, satu kamar dan dapur. Pemiliknya menyulap ruang tamu menjadi sebuah kamar yang memiliki tiga tempat tidur, disesuaikan dengan jumlah kami. Kasurnya tidak terlalu besar, tapi tetap empuk. Terfikir oleh saya perjuangan mereka mengangkut kasur ini dari Mansalong. Pemilik memasangkan sarung kasur berwarna merah jambu bermotif bunga. Suasananya mirip sebuah cottage. Saya pribadi menyebutnya “Panus’s Cottage”. Pemilik istana ini adalah Kepala Desa Tau Lumbis yang bernama Panus. Kami dibantu dan dilayani oleh istrinya, yakni Ibu Wasti. Wanita paruh baya berbadan tambun tersebut asli keturunan Madura yang berasal dari Jember. Beliau adalah orang pertama yang saya temui di Tau Lumbis yang bukan merupakan keturunan Dayak. Ibu Wasti sangat ramah dan hobi bercerita. Beliau menceritakan kehidupannya sejak menikah dengan pria Dayak Tahol hingga akhirnya diboyong pindah ke Tau Lumbis. Beliau juga menceritakan sekilas tentang kehidupan masyarakat di Lokasi Tau Lumbis berdasarkan pengalamannya selama tujuh tahun. Ibu Wasti pandai berbahasa Murud, yakni bahasa masyarakat Dayak Tahol.

Saat kami berada di Tau Lumbis, masyarakat khususnya kaum ibu sedang sibuk di ladang (biasa juga disebut jakau). Masyarakat di Tau Lumbis memang hampir seluruhnya bergantung pada hasil ladang. Mereka menanam padi, pisang dan ubi sebagai bahan makan utama. Sebagian lagi mereka juga menanam buah-buahan seperti durian dan rambutan. Lahan yang mereka garap adalah wilayah adat disekitar desa. Wilayah tersebut sebagian besar berwujud perbukitan dan pegunungan. Jumlah dan luas ladang mereka beragam. Menurut keterangan masyarakat, jumlah dan luas ladang sangat tergantung dari kemampuan dan kekuatan individu masyarakat itu sendiri. Rata-rata jumlah ladang mereka 3-5 buah. Akan tetapi untuk pasangan pasutri yang baru menikah biasanya mereka hanya memiliki satu ladang. Sedangkan untuk pasangan yang sudah paruh baya berumur diatas 50 tahun mereka sudah lupa berapa jumlah jakau yang pernah mereka garap. Ini menandakan jumlah yang banyak, bisa mencapai 20 jakau. Akan tetapi jakau-jakau tersebut biasanya sudah mulai menghutan kembali dan lama tidak ditanami.

Sistem perladangan sebagian masyarakat di Tau Lumbis yakni Gilir Balik. Masyarakat paham bahwa ladang yang sudah digunakan harus dibiarkan pulih secara alami. Mereka akan menggarap lahan lain untuk membuat ladang baru di tahun berikutnya. Setelah dirasa tanah sudah cukup subur, mereka akan kembali ke ladang yang pertama. Proses rotasi tergantung dengan jumlah jakau yang mampu mereka garap.

Proses berladang masyarakat di Tau Lumbis dimulai dengan menebas, mencacah, menyusun dan membakar. Menebas kayu dan semak adalah langkah pertama untuk menyiapkan lahan. Setelah ditebas, kayu dan semak harus dicacah dan dikumpulkan sebelum dibakar. Proses ini dilakukan mulai bulan Juni-Agustus. Setelah itu masyarakat akan menugal yakni memasukan bibit padi ke dalam lubang tanah yang telah disiapkan. Inilah perbedaan antara padi ladang/gunung dan padi sawah. Untuk padi sawah bibit padi harus disemai terlebih dahulu baru dipindahkan, sedangkan padi ladang/ gunung langsung dimasukkan ke lubang tanam. Banyaknya jumlah padi yang ditanam bergantung pada luas ladang dan kemampuan masyarakat. Rata-rata mereka menanam 3-5 kaleng gabah kering.

Setelah ditanam, padi bisa mulai di panen sekitar bulan Februari-Maret. Gabah yang ditanam 3-5 kaleng dapat menghasilkan 30-50 kaleng. Dalam proses panen (potong padi), peran perempuan sangat besar. Mereka yang paling banyak berperan dalam proses ini dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan dalam pengamatan saya, laki-laki lah yang menjaga anak dan menunggu di rumah.


Setelah dipanen, gabah dirontokan dengan proses manual dengan cara menginjak-injak batang dan buah padi. Di Tau Lumbis memang masih kekurangan mesin perontok sehingga proses ini harus dilakukan manual. Selanjutnya yakni proses penjemuran kemudian penggilingan. Sebanyak 10 kaleng gabah kering dapat menghasilkan 5 Kaleng beras yang siap mereka nikmati sampai panen berikutnya. Untuk penggilingan padi sudah dilakukan dengan mesin bantuan dari pemerintah. Hasil panen mereka juga dipengaruhi oleh hama. Selama ini hama padi yang biasa mereka hadapi yakni ulat, burung dan payau

Selain kehidupan berladang, masyarakat Tau Lumbis juga senang mencari ikan dan berburu. Aktivitas ini banyak dilakukan kaum laki-laki. Mereka mencari ikan dengan cara memancing, menjala, memasang pukat dan menembak ikan. Jenis ikan yang biasa mereka konsumsi yakni salap, peliyan dan baung. Hasil tangkapan ikan hanya untuk konsumsi sendiri atau dijual apabila tangkapan cukup banyak. Masyarakat juga sering mencari ikan untuk keperluan perkawinan dan pesta adat. Lembaga adat masyarakat di Tau Lumbis melarang masyarakat menggunakan racun apalagi menyetrum ikan. Mereka sadar bahwa ikan harus dilestarikan agar mereka tetap bisa mencari ikan dengan mudah.

Untuk mendapatkan uang, masyarakat di Tau Lumbis biasanya mencari gaharu jauh ke dalam hutan. Sesepuh-sesepuh di Tau Lumbis mengatakan bahwa dulu mereka mencari gaharu dan cukup mudah menemukannya. Akan tetapi seiring waktu berjalan gaharu menjadi sulit didapat. Perjalanan di hutan selama 1-2 minggu terkadang tidak membuahkan hasil sama sekali. “Tergantung nasib Bu” begitu kata mereka kepada saya. Rata-rata gaharu yang pernah mereka dapat sekitar 10-30 Kg dengan harga 300.000 – 500.000 setiap kilonya.

Sulitnya mencari gaharu disebabkan banyak hal salah satunya para pencari gaharu yang berasal dari luar pulau. Mereka bergrilya di dalam hutan sampai berbulan-bulan. Mereka tidak hanya mencari gaharu tetapi juga berburu sehingga tidak kehabisan bekal. Cara pemanenan gaharu yang mereka lakukan juga dinilai kurang ramah. Mereka menebang setiap pohon gaharu untuk mengambil hasilnya, berapapun ukurannya. Hingga pada tahun 2014 Lembaga Adat menetapkan larangan bagi masyarakat luar yang ingin mencari gaharu khususnya di wilayah adat mereka. Larangan tersebut berupa surat resmi yang ditandatangani oleh Kepala Adat Besar Lumbis Hulu.

Oh ya, saya juga menyoroti kehidupan masyarakat di Tau Lumbis dalam hal berkomunikasi. Sudah lama sekali Tau Lumbis tidak tersentuh jaringan telekomunikasi. Baru beberapa bulan belakangan Tau Lumbis mendapat bantuan jaringan komunikasi sehingga membuat mereka bisa menggunakan telepon. Sebelum menggunakan telepon mereka sudah lebih dulu akrab dengan HT atau handy Talky. Semua kepala keluarga memiliki minimal satu HT sebagai alat komunikasi. Dan saat keluar rumah HT tetap mereka bawa layaknya sebuah handphone. Penggunaan HT juga lebih mereka sukai walaupun sekarang sudah ada jaringan. Hal ini karena HT tidak menggunakan pulsa. Kewajiban mereka hanya mengisi batre/daya. Sedangkan handphone harus menggunakan pulsa. Apalagi ternyata di Tau Lumbis jarang sekali yang menjual pulsa. Mungkin ada yang tertarik jualan pulsa di Tau Lumbis???
Berbincang dengan tokoh adat yang sedang menjaga anak dengan HT di depannya

Masyarakat Tau Lumbis juga peminum yang kuat. Minuman yang saya maksud adalah kopi. Setiap kami berkunjung ke rumah warga, kami selalu disuguhi kopi atau paling tidak susu. Pemilik rumah juga biasanya langsung menuangkan minuman ke dalam gelas dan dibagikan ke masing-masing tamunya. Bahkan Ibu Wasti bercerita, saat pesta adat semajau (menari bersama) mereka akan menuangkan kopi bukan di dalam gelas tetapi langsung ke dalam mangkok.

Di Tau Lumbis juga saya berkesempatan mencoba buah Kelimbuku. Buah ini mirip seperti rambutan. Akan tetapi ukurannya sedikit lebih besar dari pada rambutan pada umumnya. Rambut yang ada di permukaan buah juga lebih panjang dan rapat. Tangkai buahnya juga besar. Warna buah ketika masak sangat merah dan cerah seperti warna fanta. Saat dibuka wujudnya sama seperti rambutan akan tetapi rasanya lebih manis. Daging buahnya putih bersih. Akan tetapi sulit melepaskan daging buah dan bijinya. Berbeda sekali dengan rambutan koyakan yang daging buah dan bijinya bisa dilepaskan. Tinggi pohon Kelimbuku hampir sama dengan rambutan pada umunya. Akan tetapi perbedaan bisa dilihat dari bentuk daun. Daun kelimbuku lebih mirip seperti daun matoa. Menurut literatur yang saya dapatkan dari internet, Kelimbuku atau Kelimuku adalah buah yang sudah cukup langka di Kalimantan Utara.


Berwisata ke Air terjun Simanuk

Tidak jauh dari Lokasi Tau Lumbis, terdapat sebuah air terjun tersembunyi yang indah. Masyarakat adat menyebutnya air terjun Simanuk. Manuk dalam Bahasa masyarakat Dayak Tahol artinya adalah ayam. Nama ini diberikan karena ketika air sungai banjir maka suara deru airnya seperti suara ayam. Begitu informasi sejarah air terjun simanuk yang saya dapatkan. Untuk pergi kesana kami menggunakan sebuah ketinting. Alat transportasi ini ukuran nya lebih kecil dari longboat. Muatannya pun lebih sedikit.

Kami berangkat sekitar pukul 14.00 WITA. Walaupun panas terik tetapi tidak menyurutkan niat kami. Sengaja berangkat lebih awal agar bisa lebih lama di lokasi.
Ternyata perjalanan ke air terjun Simanuk tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Motoris merapatkan ketinting ke tepi sungai sebelah kiri. Tepi sungai tersebut tidak terlalu luas. Terdapat bebatuan cukup besar disekelilingnya. Saya melihat sebuah jalan rintis yang menanjak. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan rintis tersebut. Terlihat struktur tanahnya cukup padat yang menandakan bahwa jalan ini sering dilalui masyarakat. Mungkin jalan untuk berburu ataupun mencari ikan. Diawal perjalanan kami harus melewati beberapa tebing yang curam dan licin. Kami pun berusaha berpegangan ke akar tanaman agar tidak tergelincir. Setelah beberapa tebing kami mulai berjalan di dataran yang berbatu dan mendengar suara air dari anak sungai. Suasananya sejuk dan rindang. Terik matahari saat berada diatas ketinting mulai tidak terasa. Tajuk-tajuk pohon yang rapat menghalangi cahaya matahari sampai ke lantai hutan. Suasananya menjadi sedikit gelap dan lembab. “Dan ini adalah habitat ideal si penghisap darah” begitu gumam saya dalam hati. Benar saja, tidak berapa lama seorang teman menemukan seekor pacet menempel di celananya.

Berjalan kaki menyusuri hutan dan anak sungai kurang lebih 10 menit, kami mulai bisa mendengar suara aliran air yang deras. Bebatuan yang ada di depan kami pun semakin besar. Kami harus benar-benar memperhatikan langkah kaki. Salah melangkah maka kami akan terpeleset. Bebatuan yang ada memang banyak yang berlumut dan runcing. Saya takjub melihat dinding-dinding batu yang luas dan tinggi di depan kami. Dinding batu tersebut berada di kanan dan kiri sungai. Seolah-olah menjadi sebuah sekat. Ditengah sungai pun banyak terdapat batu-batu besar dan terkadang terlihat air mengalir diantara bebatuan tersebut. Pemandangan yang sangat indah.

Menurut informasi masyarakat, air terjun Simanuk memiliki tiga undakan. Undakan pertama airnya sangat deras tetapi tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar lima meter. Disekitar undakan ini terdapat batu-batu besar yang rata dan luas. Di undakan pertama ini sangat nyaman untuk berswafoto. Karena ruang yang tersedia cukup luas. Dari undakan pertama kita bisa terus berjalan diantara bebatuan menuju undakan kedua. Di undakan kedua ini air terjunnya lebih tinggi walaupun aliran airnya lebih kecil dibandingkan undakan pertama. Ukurannya sekitar 15 meter. Di undakan kedua juga masih dikelilingi batu-batu besar. Karena undakan kedua yang cukup tinggi membuat kami sulit menuju undakan ketiga. Sepertinya harus membutuhkan alat batu untuk memanjat ataupun memilih jalan memutar. Kondisi ini membuat kami mengurungkan niat menuju undakan ketiga. Sayang sekali.


Penutup

Tiga malam sudah saya bercengkrama dengan masyarakat Tau Lumbis termasuk menikmati keindahan alamnya. Tibalah saya dan teman-teman harus pergi, tapi kesempatan kembali tetap menanti. Di hari kepulangan kami ternyata sempat terjadi penolakan alam. Hujan turun sejak subuh walaupun tidak terlalu deras. Awalnya kami berjanji dengan motoris akan berangkat pukul 08.00 WITA, tetapi akhirnya harus ditunda. Sempat saya berfikir, “apakah harus tinggal lebih lama?”.

Pukul 10.30 WITA hujan baru berhenti. Embun yang tadinya menyelimuti perbukitan mulai beranjak pergi. Kami pun bertolak dari Tau Lumbis menuju Mansalong. Kondisi air saat kami pulang masih surut. Bahkan sepertinya lebih surut dibandingkan saat kami berangkan tempo hari. Baru beberapa jam longboat berjalan, kami diminta turun dari longboat karena air terlalu kecil dan jiram cukup berbahaya. Dan ini kali pertama saya turun dari longboat, berjalan menyusuri tepian sungai yang berbatu dan licin. Saya lihat penumpang lain dari masyarakat Tau Lumbis berjalan sangat cepat. Anak-anak kecil yang mereka bawa juga lihai berjalan di bebatuan. Kami tertinggal cukup jauh dibelakang. Sambil berjalan saya melihat juru batu dan motoris terjun ke sungai. Mereka menarik dan menuntun longboat melewati jiram. Yang mereka lakukan menurut saya sangat berbahaya, apalagi mereka tidak dilengkapi alat keselamatan diri seperti pelampung.

Kondisi Sungai yang penuh batu

Setelah longboat kembali bisa melaju normal, kami para penumpang duduk dengan nyaman. Sungai yang kami lalui pun semakin lebar. Sepertinya kami sudah cukup jauh meninggalkan Tau Lumbis. Pada saat perjalanan pulang sebenarnya saya lebih banyak tertidur. Hingga pada suatu waktu saya terbangun mendengar teriakan juru batu. Dia memberi isyaratan kepada motoris dengan menunjuk sebuah batu di tepi sungai sebelah kanan. Spontan saya pun ikut menengok. Dan saya melihat seekor buaya yang sedang berjemur di atas batu. Sontak saya langsung tercengang. Buaya itu sepertinya masih anakan. Ukurannya kurang lebih satu meter. Ekornya sedikit berwarna kekuningan. Tidak seperti buaya yang pernah saya lihat di kebun binatang atau penangkaran. Apa yang baru saja saya lihat telah memuaskan hasrat saya. Karena sejujurnya, disepanjang perjalanan menuju Tau Lumbis hati saya selalu bertanya “Apakah ada buaya di sungai ini”. Dan saya sudah temukan jawabannya.

*) Polisi Kehutanan di Balai Taman Nasional Kayan Mentarang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar